Senin, 10 Januari 2011

Beranda » Ketika Anak Mulai Kritis

Ketika Anak Mulai Kritis

Entah berapa tahun lagi, berapa bulan lagi atau hanya tinggal menghitung hari kita para remaja menyandang gelar orangtua. Dan jika saat itu sudah tiba, kita harus menjadi orangtua yang tanggap dan  tahu ketika anak kita nanti sudah memiliki daya kritis. 

Daya kritis akan menumpul jika seorang anak bertanya, tapi tak ditanggapi orangtua maupun dewasa di sekitarnya.

Pertanyaan dari anak sebaiknya dijawab sesuai dengan kemampuan berpikirnya. Selain itu, buatlah dia tergelitik dengan apa yang ditanyakan. Misalnya, jika anak bertanya, “Darimana saya berasal?”, orangtua bisa menjawab, “Dari perut Ibu. Adi pernah lihat perut Tante Lita yang gemuk, kan? Di perutnya itu ada adik”.

Ketelatenan orangtua dalam menjawab akan mendorong anak untuk belajar menganalisa persoalan dari berbagai sudut. Untuk itu, lebih baik lagi jika orangtua tidak hanya memberinya jawaban, melainkan secara perlahan mengajaknya terlibat mencari jawaban.

"Misalnya, bila anak bertanya ‘Roda sepeda kok bundar, ya?’, cobalah jawab dengan, “Bagaimana ya kalau rodanya berbentuk segiempat?’. Jawaban seperti ini akan memberikan peluang bagi anak untuk mencari jawaban sendiri. Mungkin ia akan menjawab, “Ya, enggak enak naik sepedanya’. Dengan begitu, anak sudah tahu dan mengerti jawabannya," tutur Pradwana Paramitha, psikolog asal Surabaya.

Semakin orangtua mengajak anak berdialog, akan membuat buah hati semakin kritis. Jiwa yang kritis akan menjadikan anak tumbuh menjadi pribadi cerdas dan pemberani. Namun, orangtua harus bijak mengarahkan agar potensi terarah dengan baik.

Berikut ciri-ciri anak kritis:

Memiliki kemampuan berkomunikasi

Kemampuan berkomunikasi anak kritis cukup baik, bicaranya cukup jelas, dan mampu menganalisa. Kemampuannya dalam menganalisa menyebabkannya tidak menerima begitu saja apa yang dikatakan orangtua, orang dewasa, atau orang yang lebih tua darinya.

Namun, anak yang suka bertanya belum tentu anak yang kritis. Seorang anak yang gemar bertanya, tapi hanya mengulang pertanyaan tanpa bertanya lebih mendalam, bukanlah anak kritis. Anak yang kritis tak sekadar bertanya, tapi juga membutuhkan penjelasan lebih lanjut.

Memiliki kepercayaan diri tinggi

Anak yang kritis memiliki kepercayaan diri tinggi. Misalnya, ia tidak takut pada orang baru, bahkan berani menanyakan hal-hal yang membuatnya penasaran. Untuk meningkatkan rasa percaya dirinya, orangtua dan orang dewasa di sekitarnya perlu memberikan penghargaan pada apa yang ia lakukan.

Kadang tidak sopan

Karena memiliki rasa percaya diri yang tinggi, anak akan berani bertanya tentang segala sesuatu yang dilihat dan didengarnya pada orang yang lebih tua. Biasanya, jika dilarang, anak yang kritis akan balik bertanya, “Mengapa dilarang?”.

Kadang, anak dinilai tidak sopan bila menanyakan hal-hal yang bagi orang dewasa tabu untuk ditanyakan. Misalnya, ”Mengapa Tante gemuk sekali?”. Anak tentu tidak tahu bahwa pertanyaan tersebut bisa menyinggung perasaan orang yang ditanya. Oleh karena itu, agar anak pemberani tapi tetap sopan, jelaskan padanya tentang hal-hal yang bisa menyakiti hati orang lain dan menghargai orang lain.

Memiliki kemampuan bahasa dan rasa yang baik

Karena banyak bertanya dan mendengar, anak kritis akan semakin mampu mengucapkan apa yang ia pikirkan. Pengutaraan tentang apa yang ia pikirkan ini tentunya juga akan membuat ia dengan sengaja berinteraksi dengan orang lain.

Kemampuan bahasa juga akan semakin banyak diperoleh ketika ia sudah sekolah, lewat buku, guru, dan teman-temannya. Tapi, bukan berarti ia akan berhenti bertanya, karena bisa jadi pertanyaannya akan semakin seru.

Dalam mengembangkan daya kritis anak, orangtua harus sering mengajaknya bicara. Beri dia stimulus untuk bertanya hal-hal yang ingin diketahuinya, mencari jawaban bersama dari pertanyaan-pertanyaan anak sehingga anak mampu menganalisa apa yang baik dan tidak baik untuknya.


Kemudian, jangan membatasi rasa ingin tahu anak. Biarkan anak bereksperimen dengan apa yang ingin dilakukannya, tentu dengan pengawasan orangtua. Orangtua hanya memberikan motivasi serta mengontrol perilaku anak apabila perilaku yang dilakukannya kurang pantas atau tidak sopan. Sampaikan dengan bahasa yang halus, mudah dimengerti, serta berikan penjelasan sehingga dia bisa menerima kesalahannya.

www.orde-baru.blogspot.com